Selasa, 16 April 2019

AFTER WATCHING “SEXY KILLERS”: MENJAGA RASA OPTIMISME, IMAN, DAN TAQWA DI TENGAH KEGAMANGAN AKUT DAN PERASAAN RECEH YANG TAK BERKESUDAHAN

Dear Unegers!

It's a very long time no see you all!!! >.<

Well, kali ini gue mau ngereceh dikit tentang impresi gue setelah nonton film dokumenter "Sexy Killer" karya Watchdoc. Buat yang penasaran ini dia trailer dan film nya.

Poster film Sexy Killers
First of all, gue cuma mau bilang kalo gue nulis tulisan ini dalam mood swing yang teramat akut hahaha. Lo bayangin aja, sambil nonton Sexy Killers (which is menurut gue ini film kontennya berat banget buat otak gue yang kapasitasnya gak seberapa ini), gue harus berhadapan dengan pembeli di kios rumah gue yang tingkahnya macem-macem, ribut-ribut tim TPS di sebelah rumah, kucing-kucing gue yang mendadak rewel, dan semuanya terjadi secara random. I feel like having a big jetlag in my head LOL.

Gue bukannya mau komplain kenapa lingkungan gue gini banget yah, di saat otak gue bener-bener lagi butuh asupan (secara udah 2 tahun ninggalin bangku kuliah dan dalam hitungan bulan gue mau mulai kuliah lagi, otak gue stuck sama rutinitas dan hal-hal receh yang terlalu banyak gue lakuin wkwk), but I just want to say that there is no any perfectly convenient places to deeply thinking about serious or emergency stuffs in my world, at least now on. So, I want to say to myself, “Fahmi, please be flexible and be ready to every single disruption on your own.”

Baru-baru ini watchdoc merilis satu film dokumenter yang kece banget (dan bagi gue film nya beraaat hiks T_T *tapi tetep aja ditamatin wkwk) yang berjudul “Sexy Killers”. Judulnya aja udah nyeremin, yet attracting your mind to look at it. Sebelum gue akhirnya mutusin buat nonton film ini, at least ada tiga orang yang rekomen gue buat nonton, means that “okay, just give this movie a shoot”. Pertama temen main bulutangkis gue. He said, “Aidah Kak, asli 10-15 menit pertama nonton aja saya udah mikir ini film nyuruh kita golput.”

Yang kedua senior di program kepemudaan yang gue join. “If you are environmentalist, human right activist, children activist, energy enthusiast or simply Indonesia citizen, I would strongly recommend you to watch this video. Enjoy, reflect, and act!

Yang ketiga, teman seperjuangan beasiswa. “Kurasa kita perlu nonton. Ku ikut diskusinya, as an activist and biologist. Seru… merinding juga. Sebenarnya kita juga yang harus ubah ini. Kita kadang takut. Takut dicekal. We’re too afraid to lose our jobs, while those people are losing much more than we do. Such an irony.”

Well, komennya pada dalem semua cuy. Plus ada hawa-hawa golput, I think that this movie has a strong relationship with the candidates. So, akhirnya gue mutusin buat nonton film ini H-1 Pilpres. I want to remind you all that this is just my two cents perspective. Ini bukan tulisan ilmiah karena gue ga punya waktu buat nyari literatur buat memperkuat opini gue. Ini juga bukan review film karena gue gak bakal bahas tentang plot film, sudut pengambilan gambar, atau hal-hal teknis lainnya. Ini murni receh-receh isi kepala gue aja habis nonton film “Sexy Killers” ini.

Thank you very much Watchdoc for opening my mind through your movie. Jujur sih, gue emang jarang banget nonton film dokumenter. Mungkin itulah kenapa isi otak gue ya remah-remah recehan aja wkwkwk. I just believe that a story would have a happy ending, while in fact it’s not for all stories.

Kesan pertama gue setelah nyelesein nonton film ini adalah, “Ya Allah, ternyata gue receh banget…”. Kalo gue bilang problematika hidup gue udah berat dan rumit, gue harus malu banget sama Pak Ketut Mangku, Nenek Surayah, Bapak Mat Juri, Ketut dan ayahnya, Almh. Ibu Noviyanti, dan mereka yang sedang terdampak efek buruk tambang batu bara dan PLTU. Tanpa mendiskreditkan hidup gue sendiri, tapi gue emang harus lebih banyak bersyukur. Meskipun gue dikelilingi banyak distraksi, tapi gue masih bisa bernapas lega, punya akses air bersih, dan masih bisa mengenyam pendidikan yang layak. But this is for now, dunno for the next few years.

Rasanya nggak salah kalo dulu founding father kita, Bapak Ir. Soekarno, pernah berujar, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian akan lebih berat, karena akan melawan saudara sendiri.” Well, I don’t know exactly gimana Bapak Soekarno bisa menerawang apa yang terjadi sekarang, but that’s happening now in the real term. Dulu untuk merebut kemerdekaan, para pejuang lebih mudah memilah kawan dan lawan, karena semua penjajah ya datangnya dari pihak asing. But now… untuk membangun negara ini menjadi lebih maju, ternyata jalannya jauh lebih terjal karena we don’t know exactly who is ally and who is enemy.  Padahal sesama Indonesia.

I feel so bad with things happen in this movie. Bapak, Ibu, saudara saudari kita yang berada di pedesaan sana harus berhadapan dengan pengusaha kelas kakap yang memiliki hampir semua hal, while they only have little voice, money, power, and choices. They can’t even choose good things for themselves. Beberapa dari mereka masih bertahan, tapi kita ga tau sampe kapan (I pray the best for those who are still trying to survive, since that’s the only thing I can do now).

On the other hand, I am an energy enthusiast. My dream is to provide clean and affordable energy to all people in Indonesia. Habis nonton film ini gue serasa ditampar bolak balik berkali-kali oleh idealisme gue sendiri. Faktanya, Indonesia punya banyak potensi sumber daya alam yang dapat dijadikan sumber energi baru dan terbarukan (EBT). Tapi, fakta juga kalo produksi EBT itu masih mahal, at least masih lebih mahal daripada produksi listrik menggunakan batu bara. Sudah hukum alam kalo orang pasti akan milih barang yang lebih murah dan simpel. Energi batu bara, kalo dipake buat produksi listrik, pasti yang paling murah dan sumbernya berlimpah.

Sayangnya, ga banyak yang peduli tentang dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan. Dari hulu ke hilirnya, batu bara sama PLTU ini udah banyak banget nyumbangin masalah. Alih fungsi lahan, dampak buruk bagi kesehatan masyarakat, kerusakan lingkungan hidup, adalah sebagian kecil yang “Sexy Killers” sajikan. Lebih sayangnya lagi, hanya sedikit yang concern tentang dampak lingkungan ini, dan yang sedikit ini bukan dari mereka para pelaku industri.

How about the government? Entah ya, gue berasa bias ngeliatnya di sini. Ga ada tanda-tanda kalo yang bersangkutan beneran mau nolong rakyatnya. Padahal dulu dipilih lewat serangkaian seleksi dan pilkada loh, which is dipilih sama masyarakat dan sekelompok orang kompeten. Semacam apa yah… gak greget gitu loh. They seem to have so little power even to try helping their people dealing with the companies, in a good way.

Di poin inilah gue ngerasa ada tabrakan kepentingan yang bikin gue sesek. Satu sisi, kita harus menjaga lingkungan agar tetap lestari demi penghidupan yang terus berkelanjutan, terutama bagi masyarakat di pedesaan. Kita punya misi swasembada pangan, pemerataan ekonomi, suplai energi yang cukup untuk membangun infrastruktur dan industri. Tapi, demi mencapai itu semua, lahan pertanian digusur, bapak ibu petani dibiarkan tersungkur. Bertarung sendirian menghadapi perubahan iklim, tengkulak beras (kalo ada), harga komoditi pangan yang kadang tidak stabil, termasuk para penambang batubara ini. Nelayan, petani garam, dihadapkan pada hadirnya PLTU yang tentu memberi dampak pada kondisi lautan. We need electricity for sure, but we also need to protect and preserve our nature. Kenapa dua hal ini dibikin saling berlawanan? Seakan untuk menghasilkan satu pihak, ada pihak lain yang harus membayar mahal dampak negatifnya.

Nah… yang bikin film ini jadi semacam motivasi buat golput adalah… because both candidates have deep relationship with all these stuffs! It surprised me a lot! (again, gara-gara otak gue terlalu receh sih. Jadi ya gini deh wkwkwk). Jujur pas liat bagannya gue sampe merinding disko cuy. But bear in mind that, jangan jadikan ini alasan buat golput. Mereka yang akan memimpin bangsa dan negara ini 5 tahun ke depan. Even if you think that they cannot fulfill your expectations, pilihlah mereka yang menurut elo paling sedikit mudharat-nya, yang paling sedikit minusnya. Karena dengan elo golput, itu artinya elo membiarkan aja negara ini jalan tanpa kontrol terbaik yang bisa kita usahakan.

And now I’m feeling anxious with my optimism about new and renewable energy. Bisa gak sih EBT menang lawan batubara? Kalo bisa, gimana caranya? Gue harus ngapain? Gimana caranya gue bisa battle sama orang-orang di bagian atas sana kalo gue mau merangsek naik? OrMaybe it’s not having a battle. How to persuade them, to also think about our Earth, in the real term? Dan gue pun bingung jawabnya harus gimana. Simply because I still don’t have the answer yet.

Allah said in Holy Qur’an, “Maka sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain). Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap (Al-Insyirah ayat 5-8).” Sebagai orang yang beriman (I realize that my faith is not being holistic yet, but I will always trying to become a good servant for Him), gue percaya Allah akan selalu memberi jalan keluar dari setiap permasalahan yang terjadi, dan Allah ga pernah memberikan cobaan melebihi kesanggupan hamba-Nya. Yaaa… walaupun sekarang gue masih belum tau jalan seperti apa yang akan gue hadapi ke depannya.

“Sexy Killers” reminds me to be more grateful to this life, and also to be more mindful to my surroundings. Butuh usaha ekstra untuk ngeberesin tetek bengek bernama “batu bara” ini, yang udah gue kenal sejak duduk di bangku SD (dan gue baru sadar betapa toxic nya dia). At least, apa yang dilakukan oleh Pak Ketut Mangku, Nenek Surayah, Bapak Mat Juri, Ketut dan ayahnya, Almh. Ibu Noviyanti, menunjukkan kepada kita bahwa usaha kita nggak boleh padam. Wong yang sananya aja ga berhenti berusaha, masa kita mau kalah keras usahanya.

My life, perhaps, would be just two cents as usual, but I really hope these two cents will be useful for other people. Mungkin tulisan ini juga ga ngefek apa-apa buat siapapun, tapi at least ini bisa jadi pengingat buat gue sendiri, kalo hidup gue ini berkah dari Allah yang ga boleh gue nikmatin seorang diri. Gue sadar masih punya banyak banget kekurangan di sana sini, masih belum bisa apa-apa juga, tapi gue akan terus berusaha. Berusaha untuk mewujudkan mimpi gue, berusaha untuk go beyond my limit, dan berusaha living my life with meaningful reasons as to why I should live in this world.

Any comments about the elections tomorrow? Jangan golput, please. Kalopun pada akhirnya negara ini malah jadi tambah kacau gara-gara pilihan kita, at least we’ve tried our best to determine our country’s future by our own hand (tapi na’udzubillah, jangan sampe jadi lebih buruk). Setidaknya inilah bukti bahwa kita juga ikut berjuang untuk nasib bangsa dan negara ini, untuk mereka yang sedang dirampas haknya, terdzalimi hidupnya, dan merasa voiceless, powerless, and choiceless. Semoga Allah selalu melimpahkan keberkahan untuk bangsa dan negara Indonesia. Hopefully Allah will embody me (and all of us) to be “the right man at the right place in the right time”. Aamiin…
Sumbawa Besar, 16 April 2019

Fahmi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar