Sabtu, 03 September 2016

Suar Teja Raboran Day 3: It’s The Show Time!!!!!!

Dear Unegers!

Saya benar-benar tidak bisa memastikan bagaimana perasaan saya hari ini. Hari ini kami akan tampil untuk pagelaran seni. Namun hari ini juga, kami harus menyelesaikan laporan akhir KKN. Huft, padahal tadinya dikumpul sepuluh hari setelah penarikan. Ah sudahlah, mengeluh tidak akan menyelesaikan masalah. Jadilah sejak subuh saya berkutat dengan dokumen laporan akhir. Hingga pukul 14.00—batas waktu pengumpulan laporan akhir—laporan kami tak kunjung usai *apalah arti aku bekerja bila laporaaaan tak kunjuuuung usaaaai—nyanyi ala Raisa :’D *


Keadaan semakin mencekam karena hujan deras turun membasahi bumi Desa Sebasang sejak pukul 13.45. Alhasil, saya tidak berhasil mengumpulkan laporan akhir tepat waktu. Hujan terus mengguyur Sebasang hingga pukul 17.00. Saat hujan usai, hal yang saya pikirkan adalah panggung pentas kami nanti malam. Mudah-mudahan tidak licin.
 Usai magrib, saya bergegas makan malam karena sudah harus menggunakan kostum tari. Uci, Arona, Uun, Ulil, dan Fitri tengah sibuk membuat Bosang untuk acara nanti. Usai makan, saya, Ben, dan Toni meluncur ke kantor desa untuk berganti pakaian. Kostum yang kami gunakan kali ini berbeda dengan kostum yang kemarin kami gunakan. Jika saat malam perpisahan kami menggunakan kostum berwarna oranye, kali ini kami menggunakan kostum berwarna hijau.

Kali ini debaran di hati saya kian menggelora, jauh dibandingkan saat malam perpisahan kemarin. Kali ini jelas karena saya akan tampil di hadapan banyak orang. Bisa dikatakan inilah kali pertama saya tampil di panggung pagelaran seni. Rasanya bahagiaaaaa sekali. Sejak lama saya hanya bisa duduk di kursi penonton, membayangkan jika suatu saat nanti saya akan bisa menjadi salah satu pemain di atas panggung. Alhamdulillah, momen KKN ini menjadi kesempatan bagi saya untuk bisa mewujudkan mipi saya.
Suasana di ruang rias




Para pemusik
Pukul 20.30, acara Pagelaran Seni dan Budaya ‘Suar Teja Raboran’ dimulai. Kami semua berdiri di belakang panggung, menunggu giiran tampil. Para kru belakang panggung sibuk hilir mudik menata peralatan untuk penampilan setiap peserta. Sembari menunggu—dan mengurangi rasa grogi yang kian melanda—saya bermain bersama adik-adik penari yang akan tampil setelah kami. Saya juga bercana dengan teman-teman penampil yang lain, mengambil foto, dan ngobrol-ngobrol sambil sesekali mengintip ke arah panggung.





Foto bareng adik-adik penari Kembung Bahoja




Stand makanan di area pentas
Rangkaian penampilan malam itu dibuka oleh penampilan Kasidah dari Desa Mokong, kemudian Kasidah Desa Maman, tembang musik dari Desa Pernek, dan musikalisasi puisi dari Desa Semamung. Usai acara pembukaan, tibalah waktunya untuk penampilan inti. Sarembang Kilung menjadi pembuka rangkaian penampilan inti malam ini. Saya bersiap di pinggir panggung. Dalam hati saya hanya berdoa, semoga kami bisa memberikan penampilan terbaik malam ini.

Now… it’s the show time!

Alunan seruling membuka penampilan kami malam itu. Saat suara gitar mulai mengalun, para penari putri mulai bergerak sesuai irama. Para penari laki-laki baru memasuki panggung saat lawas (syair Sumbawa) pada lagu dinyanyikan.

Saat melangkahkan kaki pertama kali di atas panggung, tiba-tiba kaki saya merasakan lembabnya karpet berwarna hijau itu. Yaaaah, bekas hujan ternyata T_T

But show must go on. Saya menghadapi penonton dengan senyuman terbaik saya. Malam ini… mimpi saya untuk tampil di panggung pagelaran seni telah resmi tercapai. Saya tidak ingin tampil mengecewakan di penampilan perdana saya. Kami mengerahkan seluruh upaya untuk memberikan penampilan yang memukau. Kekompakan, ekspresi wajah, dan menikmati musik.

Saya sempat beberapa kali keliru dalam langkah kaki, dan hampir terpeleset saat gerakan berlari di salah satu bagian tarian, tapi saya tidak ingin terpengaruh. Kami terus bergerak menikmati musik. Hingga akhirnya saat alunan musik berakhir, gerakan kami sampai pada akhirnya. Tepuk tangan penonton bergemuruh seiring dengan senyum yang terus menghiasi wajah kami yang melangkah turun dari panggung. Alhamdulillah, misi berhasil!

Rasa syukur tiada hentinya saya ucapkan. Alhamdulillah, akhirnya saya bisa merasakan tampil di panggung seperti ini, yang dulunya hanya bisa saya saksikan dari kejauhan. Saya tidak menyangka harus menunggu hingga selama ini untuk bisa berdiri di sebuah panggung pagelaran seni. Namun semua itu terbayar lunas malam ini. The stage is ours tonight!

Penampilan-penampilan selanjutnya setelah itu adalah Tari Anak ‘Kembung Bahoja’, Tari ‘Basaloya’, Rabalas Lawas, Tari ‘Dulang Pasangka’ dan penampilan pamungkas Tari ‘Sarembang Gandang’. Kami saling menyemangati satu sama lain saat hendak naik ke panggung, terutama saat adik-adik saya naik ke panggung. Penampilan mereka sangat memukau malam ini. Setiap kali saya melihat mereka tampil, aya selalu merinding dan merasa terharu. Sangat bangga bisa melihat anak-anak ini, di usia yang masih muda, sudah mendedikasikan diri untuk mengembangkan seni dan budaya Samawa. Semoga mereka semakin berprestasi ke depannya, aamiin.

Oh iya, kayaknya sebagian besar Unegers di sini nggak tau ya tentang penampilan-penampilan yang sebutkan di atas? Xixixi, oke deh saya jelasin satu-satu ya. Sarembang Kilung itu kalau diartikan berarti ‘menembangkan lagu Sumbawa bersama-sama’. Ciri khas dari Sarembang Kilung itu adalah adanya penyanyi yang diiringi sekelompok penari, jadi saya itu termasuk kelompok penari pengiring. Sarembang Kilung ini pernah ditampilkan di Pekan Budaya Samawa 2014 dan berhasil meraih Juara Harapan I.

Tari Anak ‘Kembung Bahoja’ merupakan tari anak yang menceritakan kebiasaan anak-anak di Sumbawa saat menidurkan adik-adik mereka. Tari ini dikemas sedemikian rupa oleh Pak Aziz a.k.a Pak Aci, sehingga di dalamnya para penari anak ini menari, menembang, sekaligus memainkan musik. Tarian ini berhasil mewakili provinsi NTB dalam Festival Seni Anak Nasional 2016 di Palu, Sulawesi Tengah, pada bulan April lalu dan berhasil meraih penghargaan Penata Musik Terbaik.

Nah, kalau Tari Basaloya beda cerita lagi. Tari Basaloya ini menceritakan bagaimana masyarakat Sumbawa menangkap ikan dengan cara mengeruhkan air sungai atau laut agar ikan-ikan di air mabuk sehingga lebih mudah ditangkap. Air dikeruhkan dengan cara melepas kerbau-kerbau peliharaan mereka ke air kemudian oleh pemiliknya dikejar ke sana kemari. Saat air sudah keruh, barulah ikannya ditangkap. Tarian ini telah ditampilkan di Borobudur International Festival di Magelang pada tahun 2013 lalu.

Kemudian Rabalas Lawas, merupakan seni bertutur kata dalam masyarakat Sumbawa, biasanya dilakukan dua pasang muda mudi dengan berbagai latar cerita, bisa tentang pendidikan, nasihat agama, ataupun percintaan. Yang membuat Rabalas Lawas menarik adalah saling melempar lawas yang dilakukan laki-laki dan perempuan, ditambah penampilan panggung yang kerap dibuat humoris.
Tari Dulang Pasangka, kurang lebih merupakan tarian yang mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan atas rezeki yang telah diberikan kepada masyarakat Sumbawa. Bentuk rasa syukur itu disampaikan lewat tradisi menyajikan makanan kepada masyarakat, baik setelah panen atau saat hari raya.

Nah, tari Sarembang Gandang artinya tarian yang dilakukan bersama-sama oleh banyak orang. emang jumlah orangnya banyak banget sih, bisa sampai puluhan orang. Tari ini menceritakan tentang kebiasaan masyarakat Sumbawa saat diadakan upacara pernikahan. Biasanya, orang Sumbawa itu dulunya dijodohkan. Mempelai wanita biasanya akan menangis setelah diberitahu orangtuanya. Nah, suara tangisan itu akan diredam oleh pukulan alu dan lesung yang dilakukan oleh ibu-ibu. Tari Sarembang Gandang ini berhasil menjadi Juara I pada Pekan Budaya Samawa 2015.


Penampilan Sarembang Gandang menjadi penutup seluruh rangkaian penampilan malam hari ini. Seluruh talent diminta naik ke atas panggung dan berfoto bersama. Selamat kepada Kecamatan Moyo Hulu atas terselenggaranya Suar Teja Raboran 2016! Sampai jumpa di Pagelaran Seni dan Budaya 2017!

Foto bareng Eni dan Anas setelah acara


Tidak ada komentar:

Posting Komentar