Minggu, 30 Agustus 2015

RESPEK UTS 2015: ‘Gejolak Menjelang Hari-H’

Dear Unegers!

Seperti janji saya di edisi sebelumnya, saya akan melanjutkan kisah kami dalam Respek UTS 2015.

Satu minggu menjelang Respek, kami mulai disibukkan dengan verifikasi data mahasiswa baru. Kami akan menyambut sekitar 600-700 adik-adik kami yang datang dari penjuru Nusantara. Dari titik ini, gejolak-gejolak kecil mulai merintangi perjalanan kami. Jadwal Respek yang sedianya tiga hari diperpanjang menjadi empat hari karena kegiatannya dirasa terlalu mepet. Wajar aja sih. Menurut Mbak Thifa, acara orientasi kampus itu ada waktunya masing-masing. Pengenalan kampus dilakukan di awal, kemudian pemberian materi tentang nilai-nilai mahasiswa, lalu ditutup dengan kegiatan UKM Fair. Namun di UTS, rangkaian tersebut dikemas dalam tiga hari! Hasilnya, jadwal menjadi sangat padat, sampai-sampai saya yang menyusun jadwal pun seakan tak bisa bernapas. Tidak sampai di situ, konten materi Respek juga banyak mengalami perombakan, memaksa kami untuk mengatur ulang jadwal kegiatan.

Suasana verifikasi data
Tantangan untuk kami belum usai. Pusat Bahasa UTS ternyata berencana mengadakan placement test tanggal 27-28 Agustus serta test TOEFL tanggal 4 September. Panitia Respek diminta ikut menyiapkan kegiatan itu. Kami baru mendapat informasi 2 hari menjelang kegiatan, dan panitia Respek sebenarnya dalam posisi tidak terlibat dalam kegiatan ini. But the show must go on, right? Kami melakukan koordinasi secepat yang kami bisa, mendata semua mahasiswa yang telah melakukan verifikasi, lalu menginformasikan ke semua mahasiswa baru, dan membantu menyiapkan ruangan. Untuk tes TOEFL, waktunya yang berbenturan dengan UKM Fair sempat membuat kami bingung juga. Kedua acara direncanakan berlangsung pagi hari. Namun setelah mendapat konfirmasi bahwa tes TOEFL diadakan di gedung Oranye, kami bisa bernapas lega. Kami tetap bisa melaksanakan UKM Fair karena acaranya berlangsung di lapangan Rektorat, yang juga menjadi lokasi utama Respek.

Tanggal 29 Agustus. Gejolak tersebut kian memanas. Hari itu, kami melakukan simulasi tahap 2 untuk persiapan Respek. Sayangnya, simulasi hari ini tidak berjalan begitu baik karena jumlah peserta simulasi berkurang dan kami harus berbenturan dengan persiapan kuliah umum dari Pak Soedomo (Dirut PT Kapal Api) yang akan diadakan pukul 14.00. Kami juga baru tau sehari sebelumnya kalau divisi acara yang akan menjadi eksekutor acara. Selain itu, divisi acara juga sedianya akan membentuk kelompok Respek hari ini sejumlah 20 kelompok. Sayang, pihak kemahasiswaan rupanya belum selesai melakukan verifikasi data. Alhasil, siang itu kami berpencar untuk membereskan setiap kekacauan yang ada. Munira, Un, dan Ayu bertugas sebagai kru di panggung. Lamro dan Onk langsung meluncur ke gedung Oranye untuk membantu verifikasi data. Saya, Opan, dan Azhar bersama Mbak Thifa membahas teknis technical meeting keesokan harinya. Kekuatan kami sedikit berkurang karena hari itu Rian sakit. Namun, kami tetap berusaha semaksimal mungkin. Mbak Thifa dan Pak Win tak hentinya memberi kami semangat. “Mudah-mudahan saya nggak ikutan tumbang, Mbak. Opan sama Rian udah duluan soalnya,” kata saya setengah bercanda.

Sore harinya, kami bertiga ikut bergegas ke gedung Oranye untuk membantu verifikasi data. Semakin sore, jumlah mahasiswa yang melakukan verifikasi data semakin melonjak. Saya hanya menghembuskan nafas keras. Telah terbayang kalau saya bersama teman-teman acara akan kerja rodi malam ini. Bayangan masa-masa proyek Sumbawagen 2014 telah tervisualisasi sangat jelas dalam bayangan saya. Fahmi, siapkan badanmu!

Hingga ba’da Isya, verifikasi belum juga usai. Saya, Indah, dan Onk terpaksa kembali ke Sumbawa duluan, karena kami harus menghadap Pak Alidi untuk membicarakan sesuatu. Masalah terjadi saat kami hendak pulang. Ban saya bocor, membuat perjalanan kami kembali tersendat. Alhamdulillah berkat bantuan teman-teman perlengkapan, ban saya bisa diperbaiki. Menjelang pukul 22.00, kami baru tiba di rumah Pak Alidi. Sejam kemudian, saya dan Onk meluncur ke rumah Opan, sedangkan Indah menuju tujuan lain.

Ngetem sampai malam demi beresin data maba
Menjelang tengah malam, saya, Opan, Azhar, Onk, dan Lamro, baru memulai kerja rodi kami membuat kelompok mahasiswa Respek. Seluruh tenaga yang tersisa kami kerahkan untuk menyelesaikan daftar itu. Apapun yang terjadi, saat technical meeting, daftar itu sudah harus jadi.

Keempat rekan saya membagi mahasiswa ke dalam kelompok-kelompok, lalu saya menggabungkan semua nama tersebut ke dalam kelompoknya masing-masing. Mbak Lulu (staf kemahasiswaan), teman-teman konsumsi, serta Kak Surya menyempatkan waktu mengunjungi kami di rumah Opan sekedar memberikan sekotak martabak telur. Saya merekap data-data mereka hingga pukul 04.00, dan itu baru data Azhar dan Opan yang usai.

“Alhamdulillah, beres,” sayup-sayup suara Opan terdengar di sebelah saya usai menyebutkan nama mahasiswa terakhir di daftar tugasnya. Azhar sudah terkapar lebih dulu karena usai paling awal. Onk bahkan terkapar sebelum sempat menyerahkan datanya ke saya.

Saya sudah akan menagih data Lamro ketika laptop saya bergeser ke arah Opan. “Udah, kamu tidur aja.”

Saya memalingkan wajah sejenak dan tetap mematung di depan laptop, merasa tak rela pekerjaan saya diambil alih. Kali ini laptop saya bergeser lagi. Huft. Jangan salahin gue kalo ntar loe kelamaan bangun, rutuk saya dalam hati lalu mengambil posisi di sebelah Azhar.

Mata saya mendadak terbuka, dan terasa agak perih. Langit kebiruan muncul dalam pandangan saya. Saya bergegas bangun, tampak Lamro dan Onk sedang akan ke masjid. Kami bertiga bergegas shalat Subuh dan segera membereskan pekerjaan yang tersisa. 


Waktu sudah menunjukkan pukul 06.00. Sebuah panggilan masuk dari Cindy muncul di ponsel saya.

“Mi, ada tambahan data dari mahasiswa rantau nih. Aku antar ke mana ini?” kata Cindy dari seberang telepon.

“Kita lagi di rumahnya Opan, antar ke sini aja Cin,” kata saya lalu menutup telepon. Bahu saya lemas seketika.

30 Agustus. Pagi ini benar-benar kacau. Dengan mata memerah dan perih, seluruh persendian yang lemas, kami masih harus membagi tugas. Lamro dan Opan harus berangkat duluan untuk meng-handle suasana di kampus. Itupun mereka sudah terlambat. Mereka ke kampus pukul 07.00, waktu kami seharusnya sudah siap di lapangan. Azhar pamit beres-beres pulang. Onk mencari kertas untuk nge-print, lalu saya ke kosnya Fajri untuk print absen mahasiswa baru.

Saya memutuskan pulang sejenak untuk sarapan, lalu cuci muka. Dalam waktu 15 menit, ponsel saya dihajar 5 missed calls, satu telepon dari Nugrah menanyakan keberadaan saya, satu telepon dari Onk yang tidak berhasil menemukan kertas HVS karena fotokopi masih tutup, dan dua sms dari Fajri dan Mbak Thifa yang juga menanyakan keberadaan saya. Saya hanya sempat mengganti jaket lalu keluar rumah lagi, bahkan tanpa sempat bertemu orang rumah.

Saya bergegas membeli kertas HVS, lalu meluncur ke rumah Fajri. Pikiran saya kalut total. Terbayang kepanikan teman-teman panitia di kampus sekaligus raut murka mereka pada saya, serta adik-adik mahasiswa yang sudah ramai menunggu. Mata saya seketika berembun. Saya menutup kaca helm dalam kondisi motor yang tetap melaju.

Sesampainya di kos Fajri, saya langsung membuka laptop dan menyiapkan dokumen yang akan dicetak. Satu panggilan dari Opan muncul di ponsel saya. “Mi, kamu lagi di mana? Absennya udah?” selain suara Opan, sayup-sayup saya juga mendengar suara Mbak Thifa, tampaknya di lapangan sedang kalut juga.

“Absennya belum di-print...” hanya itu yang bisa saya ucapkan. Bibir saya bergetar menahan luapan kepanikan yang mendobrak ingin dimuntahkan. Fajri, yang baru keluar dari kamar mandi, hanya terpatung melihat tubuh saya berguncang panik.

Everything would be okay... everything would be okay...” berulang kali saya mengucapkan kalimat itu sambil menarik napas dalam dan menyeka mata saya yang agak sembab. Fajri dengan sigap membantu saya mencetak semua absen.

Dokumen telah siap. Saya menitip motor di kosnya Fajri. Onk—yang tadinya datang menghampiri kami—saya minta menjemput Yuli karena tidak ada teman. Kami melaju secepat yang kami bisa.

Kampus sudah ramai saat kami tiba. Saya bergegas turun dari motor, menghampiri meja registrasi yang dijaga Lamro dan Ary. Teman-teman panitia yang lain juga bergegas menghampiri saya. Saya mengeluarkan absen dengan tangan bergetar. “Pelan-pelan aja, Mi,” kata teman-teman saya menenangkan.

Suasana registrasi
Antrian mengular
Pembagian regu

 Usai membagi absen, saya menghampiri Mbak Thifa di tenda.

“Masih hidup?” tanya beliau datar. Saya hanya mengangguk sekenanya.

“Sekarang masih ada kerjaan?”

“Saya harus input data mahasiswa rantau yang baru masuk tadi pagi. Saya izin ke rektorat dulu.” Mbak Thifa mengangguk pelan.

Saya membuka ruang Lab Biotek lalu meng-input semua data sebisa saya. Teman-teman saya menghampiri. Indah dan Yuli membantu meng-input data saat tugas mereka telah usai, dan memaksa saya beristirahat. Lamro juga masuk untuk tidur. Mbak Thifa datang membawakan kami minum juga membantu saya meng-input data. Semakin siang semakin banyak yang datang ke Lab. Akhirnya kami pindah ke ruang kelas yang lebih luas.

Bahkan sampai technical meeting pun, masih saja ada mahasiswa yang baru mengantarkan data verifikasinya. Saya hanya bisa mengelus dada. Kalau belum mahasiswa saja disiplinnya seperti ini, bagaimana saat kuliah nanti? Saya tidak ingin generasi di bawah kami hanya akan menjadi beban orangtua, beban kampus, dan beban negara karena kurang disiplin. Mereka harus ‘digoreng’ saat Respek nanti.

Saya baru pulang ke rumah sore harinya. Tubuh saya serasa remuk satu hari ini. saya butuh tidur. Itu saja.

Hari ini saya belajar untuk lebih tenang dalam menyikapi sesuatu. Ini semua terjadi di luar kendali saya. Semoga kami bisa lebih solid di hari-hari berikutnya, aamiin.

Ikuti terus cerita kami ya! Akan ada banyak hal yang lebih seru buat kalian. See you!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar