Kamis, 03 September 2015

RESPEK UTS DAY 3: An Epic Day (1)

Dear Unegers!

Mata saya membuka dengan sedikit terpaksa disertai rasa perih. Suara Cana memecah keheningan fajar. Kami hanya punya waktu 15 menit sebelum briefing. Buru-buru saya mencuci muka, menggosok gigi, dan mengganti pakaian, lalu berlari ke lapangan.

Saya memulai hari ini dengan satu kekacauan: teklap hari ketiga belum dicetak. Alhasil, saya harus menjelaskan dengan baik rangkaian acara dalam satu hari ini agar semuanya paham. Syukurlah, rangkaian kegiatan hari ini tidak banyak berubah.

Setelah shalat subuh dan sarapan, saya menitipkan file teklap dan teknis outbond pada Randa untuk di-print ke Sumbawa. Saya lalu berbaring di ruang sekretariat sejenak. Tanpa sadar saya justru terlelap, dan terbangun sekitar pukul 07.30. sayup-sayup terdengar teriakan yel-yel dari para peserta Respek.

Suasana pagi




 Saya lalu keluar ruangan, dan mendapati Mbak Thifa dan Mbak Silmi sedang di kursi depan ruang perlengkapan. Saya pun menghampiri keduanya.

“Gimana jadwal hari ini?” tanya Mbak Thifa.

“Habis ini ada pengenalan dosen, Mbak, dari Pak Rektor.”

“Udah dikonfirmasi sama Pak Rektor?”

Saya menggeleng pelan.

“Pak Rektor baru dikasih tau pagi ini, dan beliau belum siap. Jadi alternatifnya, outbond sampe UTS Merah Putih dimajuin, baru Pak Rektor ngisi siangnya,” jelas Mbak Thifa.

Saya memutar otak karena skenario yang berubah sangat mendadak. Kami pun melakukan rapat darurat, dengan peserta Mbak Thifa, Kak Surya, Azhar, Opan, dan saya. Ada beberapa hal yang harus kami pertimbangkan. Pertama, outbond dan UTS Merah Putih langsung ‘bablas’ hingga Ishoma tanpa ada materi dari Pak Rektor. Resikonya, materi dari Pak Rektor harus disampaikan di Respek fakultas, meskipun sebenarnya akan lebih baik jika disampaikan di Respek ini. Kedua, sesi Pak Rektor tetap ada setelah outbond dan UTS Merah Putih. Konsekuensinya, flow acara yang tadinya naik akan agak menurun di sesi tersebut, dan kami harus mencari cara untuk menaikkan flow-nya lagi. Selain itu, waktu outbond dan UTS Merah putih hanya dibatasi hingga pukul 11.00, yang artinya kami hanya punya waktu dua setengah jam dari sekarang. Tapi keuntungannya, peserta bisa mengistirahatkan tubuhnya di saat sesi materi, karena outbond dan UTS Merah Putih pasti menguras energi.

“Aku sih sekarang terserah kalian aja, semua sudah ada pertimbangannya masing-masing,” kata Mbak Thifa.

Kami saling berpandangan sejenak. “Ya udah, Mbak, sesi Pak Rektor tetap diadain setelah UTS Merah Putih,” kata saya akhirnya.

Meskipun panitia lagi 'emergency', peserta tetap semangat :D

Dinamika Respek pagi ini dimulai. Saya segera mengumpulkan teman-teman panitia yang sedianya akan menjadi pemandu outbond. Tadinya kami perlu pemandu 16 orang, namun situasi yang darurat akhirnya memangkas jumlah pemandu menjadi hanya 8 orang. Saya segera membagi pos masing-masing beserta games yang akan dimainkan di pos itu. Di titik ini, tantangan untuk kami mulai bermunculan.

“Jarak pos 1A sama 1B terlalu dekat, Mi. Apa ntar nggak tabrakan pesertanya?” komplain Opan.

“Harusnya nggak tabrakan, sih. Kalo masalah jarak emang nggak bisa digimana-gimanain lagi, Pan, soalnya pos 1 dan 2 udah di satu komplek itu aja,” jawab saya.

Urusan pos selesai, kami membagi properti yang dibutuhkan untuk games. Masalah yang cukup krusial muncul: botol untuk balap air kurang! Setelah saya ingat, ternyata 20 botol yang diperlukan itu dengan kondisi jika peserta mengambil air untuk balapan dari dalam ember. Namun semalam, skenario berubah. Regu peserta akan mendapat air dari dalam botol yang dituangkan oleh salah satu peserta dengan kondisi mata tertutup.

Saya segera berlari ke lapangan utama karena Munira mengumumkan bahwa sesi outbond akan segera dimulai.

“Mun, tunda bentar, ya. Games-nya belum beres,” bisik saya. Di saat bersamaan, saya melihat botol air mentah 1,5 L para peserta yang biasa digunakan untuk wudhu. Binggo!

“Mun, tolong bilang sama peserta buat bawa 2 botol besar air mentah untuk masing-masing kelompok,” ujar saya lalu kembali ke pos panitia.

“Masalah botol beres. Kita bisa minta peserta bawa botol air sendiri untuk balap air,” kata saya lega.

“Tapi gelasnya nggak nyampe 20,” kata Opan.

Jedeeeerr!!!! “Ah, masa sih? Tadi katanya Mastar udah kok 20,” kata saya yakin.

“Hitung aja, nggak ada 20.”

Saya kembali dilanda kepanikan. Fajri dan Onk lalu menawarkan satu konsep games untuk mengganti balap air. Sayangnya, teman-teman yang lain kurang paham.

“Ya udah gini aja. Posnya Fitri sama Onk nggak usah balap air, ganti sama games itu aja. Tapi Fajri ntar temani Fitri ya, soalnya kamu sama Onk aja yang ngerti konsepnya,” kata Opan. Kami akhirnya berpencar ke pos kami masing-masing. Sebelum ke pos, saya kembali ke lapangan utama untuk mengumumkan sesi outbond dan memberikan instruksi kepada seluruh regu.

Saya berangkat ke pos 4B di depan gedung Pertamina. Uni dan Kak Acuh sudah tiba lebih dulu. Saya membersihkan area lapangan, masih sambil kepikiran huru hara pagi ini. “Kenapa bisa salah hitung, sih? Harusnya dari semalam bisa ketebak. Mudah-mudahan aja nggak ada masalah,” ujar saya pada diri sendiri.

Beberapa cuplikan outbond games



Sekitar pukul 09.30, lima pleton tiba di pos saya, masing-masing dari Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Aceh, Jawa Barat, dan DIY. Saya pun memandu mereka ke games pertama: balap kalajengking.

Saya mendapatkan games ini ketika mengikuti camp Sobat Bumi tahun 2013 lalu. Aturan mainnya, peserta dalam satu tim harus merangkai tubuh mereka menjadi satu garis, namun hanya bagian tangan yang boleh menyentuh tanah. Peserta yang menjadi ujung garis harus mengambil sebuah bola di ujung lintasan dan membawanya kembali ke garis start.

Permainan ini cukup menguras fisik, sehingga pesertanya adalah 6 orang mahasiswa dari tiap regu. Ternyata memandu mereka memainkan games ini cenderung sulit. Seluruh tim hanya beradu cepat, namun kurang memikirkan strategi yang diterapkan. Saya sudah mengantisipasi itu. Dua kali mereka gagal, saya pun turun tangan memberitahu startegi yang benar. Namun sayang, setelah itu pun masih ada yang belum bisa memainkan games dengan benar. Saya hanya bisa tersenyum melihat usaha keras mereka di lapangan.

Peserta balap kalajengking
Saya mencoba memberi instruksi
“Apa pelajaran yang bisa kalian ambil dari games tadi?” tanya saya usai memainkan games balap kalajengking.

Beberapa orang mengacungkan tangan dan menyampaikan jawabannya. Saya tersenyum mendengar jawaban mereka semua. Intinya, dibutuhkan kerja sama dan kekompakan dari seluruh anggota tim dalam menyelesaikan misi tadi. Saya bersyukur mereka bisa mengambil pelajaran dari permainan yang mereka lakoni.

Games kedua bernama ‘Pertarungan Ular Naga’. Kali ini saya meminta 8 orang mahasiswi dari tiap pleton. Aturan mainnya sederhana. Setiap regu berbaris menjadi satu banjar. Peserta paling depan menjadi kepala naga, sedangkan peserta paling belakang menjadi ekor naga. Misi masing-masing ‘naga’ adalah menyentuh ekor naga lain, namun di saat bersamaan juga harus melindungi ekornya masing-masing. Namun dalam pertarungan, tubuh naga tidak boleh terputus. Karena hanya ada 5 regu, maka ada 4 regu yang bertarung ‘one by one’, sedangkan satu regu tersisa berhak maju ke babak berikutnya.

Pertarungan berlangsung sengit, didukung kemeriahan suporter masing-masing regu. Penentuan menang kalah ternyata bukan pada siapa yang cepat menyentuh ekor lawan, namun pada regu mana yang lebih dulu putus tubuhnya. Ketegangan sempat terjadi di babak final, karena kedua naga merasa lebih berhak menang. Naga pleton Sulawesi Selatan terputus tubuhnya, sedangkan naga pleton Aceh ekornya terjatuh lalu putus. Saya memenangkan regu Aceh, karena saya melihat naga pleton Sulawesi Selatan lebih dulu putus, dan hanya berselang sepersekian detik, ekor naga regu Aceh terjatuh. Meskipun sempat bersitegang, kedua regu bisa menerima hasil akhir permainan.


“Apa yang kalian pelajari dari permainan tadi?” sekali lagi saya melontarkan pertanyaan itu. Cukup banyak jawaban yang muncul. Saya membenarkan semua jawaban mereka. “Intinya, dalam permainan tadi, kalian diajar untuk menjadi pemimpin yang baik. Pemimpin yang bisa melindungi dan mengayomi orang yang kalian pimpin. Selain itu, kalian juga diajarkan kerja sama dan kekompakan sebagai satu tim. Karena itu, setelah Respek nanti, jadilah mahasiswa yang bisa bekerja sama, karena kita tidak bisa melakukan semuanya sendirian,” jelas saya lalu tersenyum.

Seluruh regu selanjutnya diarahkan ke pos terakhir: lapangan Science and Techno Park (STP) UTS. Proyek besar yang akan mereka lakukan selanjutnya adalah pembentukan formasi UTS Merah Putih raksasa.

Sebagian besar pleton sudah berbaris rapi di lapangan bersama para panitia dan pendamping. Waktu sudah menunjukkan pukul 10.50, dan pembentukan formasi belum juga dimulai. Mbak Thifa berkali-kali mengingatkan saya sebagai time keeper untuk menjaga durasi.

Pukul 11.00 pembentukan formasi baru dimulai. Azhar dan Rian memegang komando untuk memberi instruksi. Teriknya matahari serasa membakar ubun-ubun. Kendati demikian, semangat kami untuk menyelesaikan proyek besar ini juga terasa membara.

Para peserta diatur sedemikian rupa agar posisi mereka membentuk hurup U, T, dan S dengan susunan warna topi caping merah dan putih. Pada saat technical meeting lalu, panitia telah memfasilitasi topi caping peserta untuk memudahkan proyek angkatan ini.

Untuk pembentukan huruf raksasa ini, kami belajar banyak dari ospek universitas lain. Seharusnya proyek ini murni dikerjakan oleh para mahasiswa saat di lapangan. Namun, karena ini baru pertama kalinya kami lakukan, serta untuk mengefisienkan waktu, maka kami memandu mereka untuk membuat formasinya. Setelah itu, mereka dikembalikan ke barisan masing-masing lalu mengulang kembali pembentukan formasi tersebut.

Lagu ‘Gebyar-Gebyar’ mengiringi pembentukan formasi tersebut. Semua orang terlihat bersemangat dan antusias. Saya bisa merasakan aliran energi yang membara di sekitar kami semua. Melihat kesigapan panitia dan para peserta membuat saya merinding. Inilah semangat Unity In Diversity yang ingin kami ciptakan. Semangat untuk bersatu dengan latar belakang yang begitu beragam. Meskipun mereka berasal dari daerah yang berbeda, pleton yang berbeda, namun mereka kompak dan bekerja sama sebagai satu kesatuan: sebagai mahasiswa UTS. Sebagai generasi emas Indonesia. Sebagai pemimpin masa depan dunia.

Hasilnya??? Silahkan cek sendiri di bawah ini. 




Bahagia sekali rasanya melihat formasi ini sukses. Kebersamaan antara panitia dan mahasiswa begitu terasa. Kami pun menyanyikan lagu Gebyar-Gebyar sambil melambaikan tangan di udara untuk merayakan keberhasilan kami. Setelah itu, Kak Surya maju untuk menyampaikan orasi kepada mahasiswa. Sebuah orasi yang membakar gairah muda para mahasiswa. Orasi yang mengingatkan kami semua untuk kembali mengingat nilai-nilai kebhinnekaan kita sebagai bangsa Indonesia. Bahwa perbedaan itu diciptakan sebagai rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa agar manusia saling mengenal, bukan untuk saling bertikai. Mengingatkan kita untuk bersatu dalam perbedaan demi kemajuan Indonesia.

Waktu telah menunjukkan pukul 12.05 saat kami tiba kembali di arena utama. Saya bergegas menuju panggung karena Pak Arief, Rektor UTS, telah tiba di tenda tamu. Saya sudah siap kalau harus diceramahi karena acara beliau molor hampir satu jam.

Namun, betapa terkejutnya saya saat menyaksikan respon pertama beliau. “Fahmi, kok kamu gosong, ya?” tanya beliau sambil tertawa lepas.

Saya hanya melongo sesaat, lalu ikut tertawa kikuk. “Yaah, gitu Pak. Saya juga dijemur selama Respek,” kata saya.

Tak lama kemudian, Mbak Thifa datang dan mempersilahkan Pak Arief untuk menaiki panggung bersama Pak Ajad. Beliau berbicara tentang struktur kampus UTS, sekaligus menyampaikan wejangan kepada para mahasiswa. Uniknya, sebelum mulai berbicara, Pak Arief terlebih dahulu menyapa para mahasiswa dengan berkeliling lapangan utama menggunakan sepeda. Lagi, beliau memberikan materi sambil duduk di pinggir panggung! Saya merasa kagum dengan kesahajaan beliau sebagai seorang rektor.

Acara kemudian dilanjutkan Ishoma selama satu jam. Setelah itu, kami langsung masuk ke upacara penutupan Respek 2015. Para peserta diminta berbaris sesuai prodi masing-masing. Kemudian, mereka diminta untuk menutup mata, menundukkan kepala, dan menutup telinga. Para panitia dengan sigap berlari kemudian mengelilingi barisan mahasiswa. Saat mereka membuka mata, Kak Surya, Kak Bowo, dan Rian tampil menyampaikan orasi kemahasiswaan untuk menutup Respek. Para mahasiswa kembali diingatkan akan nilai-nilai kemahasiswaan yang telah mereka miliki. Mereka diingatkan bahwa sebagai mahasiswa, mereka memiliki tanggung jawab lebih untuk memajukan univeristas, bangsa, dan negara. Mahasiswa adalah ujung tombak peradaban, karena itu mereka harus menempa diri dengan sungguh-sungguh agar dapat menjadi mahasiswa yang berkontribusi bagi kemajuan bangsa.


Para peserta kembali diminta menutup mata, menundukkan kepala, dan menutup telinga. Kali ini, sosok Rektor UTS yang muncul saat mereka membuka mata. Beliau sekali lagi memberi wejangan kepada para mahasiswa agar terus semangat dalam menuntut ilmu dan berprestasi, sehingga dapat membawa nama UTS terbang ke penjuru dunia.

(bersambung)

Penasaran kelanjutannya seperti apa??? Update terus blog Uneg Uneg Dwilaksono ya!

NB: Makasih banyak buat panitia Respek 2015 Divisi Pubdekdok buat foto-foto kecenya :)

2 komentar:

  1. nggak sabar nunggu kelanjutannya kak.. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih udah baca blog saya Askar :)
      Oke bentar lagi kelanjutannya rilis ya. Ikutin terus!

      Hapus